Belajar ilmu Asuransi

Disini Anda Dapat Belajar mengenai dasar dasar Asuransi Kerugian.

Sunday, July 17, 2005

Komite Asuransi

Sudah sering kita mendengar kata governance dalam berbagai kesempatan. Banyak istilah dan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar, dari kalangan akademis, birokrat sampai dengan praktisi bisnis. Misalnya, good public governance, good government governance, good nation governance, good corporate governance, good civil governance, dan lain sebagainya. Sebagian menggunakan istilah-istilah tersebut dengan tepat dan benar. Tetapi, sebagian lagi masih menggunakannya secara tumpang tindih.
Tiga elemen governance yang terkait dan tidak terpisahkan dalam satu sistem negara adalah elemen penyelenggara negara, elemen pelaku bisnis, dan elemen masyarakat. Ketiga elemen tersebut dapat kita sebut sebagai suatu trilogi. Masing-masing memiliki karakter tersendiri tetapi ketiganya tidak akan mampu berdiri dan berkembang sendiri-sendiri. Mereka mengarah pada satu tujuan yaitu kehidupan yang lebih baik bagi setiap insan. Dalam Artikel ini Penulis hanya menerangkan satu elemen yaitu Elemen pelaku bisnis dari trilogi yang telah dikemukakan, sejalan dengan topik bahasan mengenai Komite Asuransi dalam Corporates Governance.Elemen pelaku bisnisPelaku bisnis, yang berupa kumpulan perusahaan yang bergerak di berbagai bidang industri barang dan jasa, memiliki pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri.Sejalan dengan globalisasi di mana setiap perusahaan tidak kebal lagi terhadap batasan-batasan tradisional geografis dan negara -tuntutan tanggung jawab perusahaan tidak lagi pada penciptaan keuntungan bagi pemilik modal saja. Tetapi meluas pada bagaimana perusahaan secara seimbang memberikan nilai tambah berkesinambungan bagi pemegang saham dan juga bagi kepentingan para stakeholder-nya.
Governance dari sudut pihak pelaku bisnis atau sering disebut sebagai good corporate governance (GCG) diartikan secara lengkap sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan. Ini untuk memberikan nilai tambah perusahaan yang berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham. Namun, dengan tetap memperhatikan stakeholder lainnya berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.Mengapa GCG didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses? Sebagai struktur, GCG mengatur hubungan antara dewan komisaris, direksi, pemegang saham, dan stakeholder lainnya. Sebagai sistem, GCG menjadi dasar mekanisme pengecekan dan perimbangan (check and balances) kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi peluang pengelolaan yang salah, dan peluang penyalahgunaan aset perusahaan. Sebagai proses, GCG memastikan tranparansi dalam proses perusahaan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, dan pengukuran kinerjanya. Organ perseroan sebagaimana UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komisaris, dan direksi. Dalam UUPT diatur fungsi, tugas, hak dan tanggung jawab masing-masing organ, Itu kemudian diatur lebih rinci lagi dalam pedoman Good Corporate Governance (GCG) yang diterbitkan oleh Komnas GCG.
RUPS merupakan organ tertinggi di dalam perseroan. Untuk fungsi tertentu, seperti pengawasan atas jalannya perseroan, dilakukan oleh komisaris. Dalam hal ini, komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan direksi dan memberikan nasihat kepada direksi jika dipandang perlu.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, komisaris dapat membentuk komite-komite yang terdiri atas Komite Audit, Komite Nominasi, Komite Remunerasi, dan Komite Asuransi.Dalam pelaksanaannya banyak perusahaan publik, BUMN, dan beberapa perusahaan tertutup telah membentuk Komite Audit. Namun, belum banyak perusahaan yang telah membentuk Komite Asuransi yang bertugas khusus melakukan penilaian secara berkala dan memberikan rekomendasi tentang jenis dan jumlah asuransi yang ditutup oleh perseroan. Bagi BUMN, komite ini bernama ''Komite Asuransi dan Risiko Usaha'' sebagaimana diatur dalam Keputusan Menneg BUMN No. 117/2002.Komite AsuransiKomite asuransi bertugas melakukan penilaian secara periodik dan memberikan rekomendasi tentang jenis dan jumlah asuransi yang ditutup oleh perseroan. Menyimak tugas yang digariskan tersebut, personil yang dapat ditunjuk untuk menjadi anggota komite asuransi perlu memiliki pengalaman di dalam manajemen risiko ataupun di bidang perasuransian.Setiap perusahaan menghadapi berbagai risiko dalam menjalankan aktivitas operasional perusahaannya yang identik dengan uncertainty (ketidakpastian). Perusahaan mempunyai berbagai alternatif penanganan risiko mulai dari diabaikan, dihindari, ditanggung sendiri, dan dipindahkan kepada pihak lain. Alternatif apapun yang dipilih, perusahaan harus menerapkan sistem pengelolaan risiko yang komprehensif, prudent dan proper untuk menghindari kemungkinan kerugian (losses) yang diderita perusahaan. Paling tidak, perusahaan harus melakukan langkah-langkah analisa risiko (risk analysis) mulai dari identifikasi setiap risiko yang mungkin timbul, dampak terhadap keuangan perusahaan (financial impact), lalu pengendalian risiko (risk control), serta pembiayaan risiko (risk financing). Alternatif penanganan risiko yang bisa dilakukan adalah memindahkan risiko tersebut kepada pihak lain (risk transfer). Salah satu pihak yang dapat menerima transfer risiko tersebut adalah perusahaan asuransi. Inilah yang kita sebut diasuransikan. Dengan membayar premi asuransi (bagian dari risk financing), maka perusahaan asuransi akan memberikan ganti kerugian (meng-indemnify) sesuai dengan yang diperjanjikan dalam polis asuransi.
Latar belakang pengalaman di bidang perasuransian menjadi salah satu syarat yang mutlak untuk dapat ditunjuk sebagai anggota Komite Asuransi. ini terkait dengan penerapan prinsip keahlian maupun pengalaman yang sesuai dengan bidang tugasnya (kompetensi).Komite asuransi (lengkapnya disebut Komite Asuransi dan Risiko Usaha) merupakan salah satu komite yang dibentuk oleh dewan komisaris perusahaan. Pembentukan komite ini harus ditetapkan melalui suatu Surat Keputusan Dewan Komisaris. Recruitment dilaksanakan oleh dewan komisaris dengan bantuan direksi perusahaan. Jumlah anggota komite ini paling banyak hanya tiga orang, yang dipimpin oleh seorang ketua dengan persyaratan memiliki pengalaman dalam mengelola risiko. Yang dimaksud risiko di sini mencakup risiko atas kekayaan fisik perusahaan, finansial, maupun risiko tanggung jawab hukum, dan risiko atas sumber daya manusia (seluruhnya dikategorikan sebagai risiko murni) dan risiko usaha yang merupakan risiko spekulatif.Pada tahap awal pembentukan komite asuransi, dewan komisaris dapat menunjuk seorang pelaksana sementara sambil menunggu penetapan komite definitif, untuk sementara fungsi komite ini ditangani oleh komite audit.Idealnya, seorang ketua komite asuransi memiliki pengetahuan maupun pengalaman dalam menyusun suatu program perencanaan asuransi (insurance plan) dan menentukan jenis, uang pertanggungan asuransi (scope of cover dan sum insured), serta mengusulkan penetapan perusahaan asuransi yang dipilih.
Tugas tersebut dapat di-outsource-kan kepada pihak lain, baik konsultan maupun pialang asuransi. Secara rutin, paling tidak sekali dalam setahun, komite bertugas melakukan kajian (review) atas program asuransi perusahaan dan pedoman pengelolaan risiko murni maupun spekulatif. Yang juga merupakan lingkup tugas komite adalah menyusun pedoman, mengkaji, dan memonitor pelaksanaan pengendalian kecelakaan dan kesehatan kerja (occupational safety and health).Komite Asuransi ini dapat meminta bantuan konsultan manajemen risiko ataupun perusahaan pialang asuransi. Bila diperluas lagi, tugasnya tidak hanya melakukan penilaian secara berkala, tetapi juga menerbitkan suatu pedoman mengenai perencanaan asuransi. Asuransi disini tidak hanya mencakup pengelolaan risiko atas aset fisik perusahaan, namun juga sumber daya manusia (SDM) dan aset tidak berwujud (intangible assets). Untuk SDM, misalnya Employee Benefit Program, penyediaan ruang kerja yang nyaman, dan penanganan kesehatan dan kecelakaan kerja. Sedangkan untuk bentuk intangible assets, misalnya hak cipta, paten, dan merek (intellectual property right), dan reputasi perusahaan.Selain dengan manajemen perusahaan, komite ini berkoordinasi dengan bagian yang menangani risiko dan/ataupun asuransi. Untuk perusahaan berskala besar, koordinasi dilakukan dengan divisi atau bagian yang mengelola risiko (risk manager). Pada perusahaan multinasional, komite asuransi juga mengkaji perlu atau tidaknya pembentukan asuransi kaptif (captive insurance).Program pengelolaan risiko usaha yang bersifat spekulatif juga menjadi tanggung jawab komite asuransi. Risiko usaha atau risiko bisnis sangat beraneka ragam, mulai dari risiko keuangan, risiko produksi, risiko operasional/pemasaran hingga risiko SDM. Pada dasarnya risiko usaha tidak dapat diasuransikan sehingga komite perlu merekomendasikan metode pengelolaan risiko ini.Yang juga menjadi tanggung jawab komite adalah penyusunan pedoman dalam menghadapi dan menangani krisis seandainya perusahaan menghadapi masalah ini. Karena krisis merupakan salah satu risiko yang dihadapi dan dapat terjadi setiap saat, seperti terorisme, pemogokan, huru hara, musibah alam. Termasuk juga musibah kecelakaan yang menimpa kekayaan perusahaan, seperti kapal tenggelam, pesawat jatuh, tabrakan kereta api, dan lain-lain. Harus diingat bahwa komite mempunyai fungsi staffing dan tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi suatu keputusan.Apakah pembentukan komite asuransi perlu segera diwujudkan seperti komite audit? Tentu saja tidak dan harus disesuaikan dengan kebutuhan karena skala perusahaan merupakan salah satu pertimbangan utama. Seandainya komite ini belum akan dibentuk, sebagian fungsinya dapat diambil alih oleh komite audit yang juga harus meliput (to encompass) manajemen risiko. Perusahaan yang memiliki kekayaan di atas Rp 10 triliun perlu mempertimbangkan pembentukan komite ini. Pertimbangan lain adalah risiko yang dihadapi perusahaan. Misalnya, perusahaan pertambangan, perusahaan minyak, perusahaan manufaktur berat (heavy industries), dan lain-lain. Bagaimana dengan perusahaan jasa seperti perbankan? Hal ini juga relatif. Mungkin skala minimal adalah dengan total kekayaan di atas Rp 100 triliun atau dengan penyebaran cabang yang luas.Jenis dan jumlah asuransi yang ditutup oleh perseroan perlu diperhatikan oleh komite ini. Pengalaman membuktikan, tidak adanya cover asuransi yang memadai maupun ketidakcukupan jumlah yang dipertanggungkan kepada perusahaan asuransi bisa menjadi pemicu bangkrutnya perusahaan ataupun turunnya value perusahaan. Ini terbukti dari kasus kebocoran pipa gas yang dialami Union Carbide di Bhopal, India pada 1984 ataupun kandasnya tanker Exxon Valdez di Alaska pada 1986.Belajar dari pengalaman tersebut, setiap perusahaan mulai dari sekarang secara bertahap harus mempertimbangkan dibentuknya Komite Asuransi di perusahaan masing-masing. Sejalan dengan hal tersebut pasar Asuransi akan semakin berkembang sehingga Perusahaan Asuransi dan SDM yang ada di dalamnya seharusnya mempersiapkan diri untuk menangkap pasar Asuransi dari perusahaan perusahaan yang telah membentuk Komite Asuransi.
Resources atau sumber yang dapat dimanfaatkan untuk mengisi keanggotaan Komite Asuransi cukup banyak. Contohnya, perusahaan perasuransian (seperti perusahaan asuransi umum, asuransi jiwa, perusahaan pialang asuransi) dan asosiasi profesi perasuransian, antara lain AAMAI (Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia), HAPSI (Himpunan Ahli Pialang Asuransi Indonesia), AMRI (Asosiasi Manajemen Risiko Indonesia) maupun IRPA (Indonesian Risk Professional Association) untuk risiko yang bersifat spekulatif seperti risiko kredit dan risiko likuiditas. Hal ini membuka peluang bagi SDM yang sehari hari berkecimpung dalam dunia Asuransi pun akan semakin besar dikarenakan kebutuhan sumber daya yang handal untuk mengisi posisi Komite Asuransi di Perusahaan perusahaan maupun BUMN-BUMN dimasa mendatang.

0 Comments:

<< Home